Sabtu, 27 Maret 2010

DARI SARITEM, GANG ALENG HINGGA SON PUNG

Bandung memang kota kembang. Bukan kembang dalam arti bunga yang harumnya semerbak mewangi, tetapi kembang jalanan yang terdiri dari kaum wanita penjaja cinta sesaat. Sejak tempo "doeloe" hingga kini, Bandung memang terkenal dengan lokasi-lokasi untuk wanita penjaja seks komersial (PSK).
Bagi warga Banung yang hidup antara th '50 - 70an, pasti pernah mendengar bahwa dibeberapa jalan atau gang dijadikan tempat mangkalnya wanita2 penghibur yang akrab disebut WTS (Wanita Tuna Susila).
Di Bandung Timur, seperti di Cicadas, siapa yang tidak kenal gang Son Pung. Sebuah gang yang berhadapan dg Taman Hiburan atau Bioskop Misbar (Girimis Bubar). Di sanalah banyak dijumpai wanita-wanita yang menebar senyum dari balik bibir bergincu tebal.
Mereka bisa dijumpai di warung remang-remang. Jika tidak dimulut gang Son Pung, mereka menyebar di sepanjang Jl. A. Yani Cicadas, terutama di depan Taman Hiburan. Jika malam tiba, banyak suara cekikikan manja dan rehe dari warung remang di pinggir jalan.
Tapi kini gang Son Pung telah bersih dari para WTS. Faktor masalahnya kehendak masyarakat sekitar yang cukup tinggi, dan dengan pendekatan agama. Maka gang Son Pung kini benar-benar bersih dari para WTS.
Lalu Bandung bagian tengah. Saritem adalah pusat "kembang" Bandung. Di kawasan yang diapit Jl. Gardujati / Jl. Kebonjati dan Jl. Jend. Sudirman tersebut ada jalan kecil namanya Saritem. Nah, agak jauh ke dalam inilah ada beberapa rumah perak mirip hotel tempat kencan para WTS dengan pendatang lelaki hidung belang.
Tempat ini dikenal sejak jaman Belanda "baheula". Bahkan Saritem inilah yang tak pernah bisa dijamah petugas untuk dibersihkan. Upaya untuk membebaskan Saritem dari "dunia hitam" telah banyak dilakukan, khususnya oleh pemerintah kota Bandung, jauh sejak zaman Geemente, Kotapraja, Kotamadya dan kini kota. Tetapi Saritem masih tetap eksis. Bahkan karena di Saritem banyak "kembang" Bandung terkenal ke seantero Nusantara. Sebagaimana halnya Surabaya dengan Dolly, Jakarta-Kramat tunggak, Semarang-Sunan Kuning dll.
Masih banyak lagi pusat-pusat kembang lainnya. Gang Aleng didaerah Jl. Astana Anyar, lalu Tegallega yang sejak dulu hingga kini dianggap WTS kelas jalanan yang tak peduli tempat, di tanah lapangpun jadi. Ada lagi Ciroyom. Kawasan yang dekat dengan pasar ini dulunya kawasan ramai. Hingga kawasan ini kerap disebut dengan nama "kebun kacang".
Sama halnya dengan Jl. Kebonsirih, lokasinya dekat dengan gedung Pakuan atau rumah dinas Gubernur Jabar. Hingga th 1975-an, kawasan ini jika malam tiba selalu ramai dengan transaksi para WTS dengan lelaki hidung belang. Disini juga ada tempat "menginap" sementara. Namun karena desakan masyarakat, kini Kebon Sirih benar-benar bersih.

(MS/GM)
(Foto koleksi Museum Tropen, Nederland)

Selasa, 09 Maret 2010

Pieterspark

Pieterspark atau Taman Merdeka atau Taman Balai Kota sekarang, dibangun untuk mengenang jasa-jasa Asisten Residen Priangan bernama Pieter Sijthoff yang telah berhasil membangun Kota Bandung untuk yang pertama. Pieterspark semula dinamai Taman Bunga dan terletak tepat di ujung akhir simpang Jl. Braga yang terkenal itu.
Di bawah Pieterspark dibangun kanal (Jembatan Besi Melengkung). Di bawah kanal itu bergemericik suara air yang dialirkan dari sungai Cikapayang menuju 4 taman kota, yaitu : Ijzerman Park (Taman Ganesha), Pieterspark (Taman Meredeka), Molluken Park (Taman Maluku) dan Insulinde Park (Taman Nusantara/Taman Lalu Lintas sekarang).
Dulu, aliran sungai Cikapayang memang tergolong deras. Konon, di atas aliran sungai ini, anak-anak belasan tahun sering menjadikannya tempat rekreasi. Dari tepi sungai Cikapayang di belakang gedung Rektorat ITB sekarang, anak-anak melayarkan perahu-perahu yang diatasnya ditancapkan lilin menyala. Kalau bukan perahu, mereka menggunakan kulit buah "cucurutan" atau "sepatu dua". Di atas sungai itulah, setiap senja hari anak-anak tergelak-gelak atau mungkin kecewa sejenak, menyaksikan perahu lilinnya terbentur "karang", lalu timbul tenggelam menerobos kegelapan sungai di bawah jembatan.
Pieterspark dibangun Meneer R. Teuscher, seorang botanikus yang saat itu tinggal di rumah pojok di Jl. Tamblong Naripan. Pembangunan taman ini tidak terlepas dari bangunan-bangunan di sekelilingnya. Termasuk jalan raya yang membatasi kota. Dulu, jalan itu tak seramai dan sepolusi seperti sekarang. Saluran air yang mengalir dari Pieterspark dan melalui bagian bawah jalan untuk menuju ke Molluken Park, dulu tebingnya cukup tinggi dan lebar. Airnya masih jernih dan deras. Perubahan terjadi sejak tahun 1950 ketika sepanjang sungai Cikapayang dipasang keramba ikan yang menimbulkan pencemaran dan pendangkalan sungai.
Sedangkan objek bangunan yang "mengepung" Pieterspark antara lain Javasche Bank (kini Bank Indonesia), Kweekschool, sekolah guru atau dikenal sebagai "Sekolah Raja" (kini Kantor Polwiltabes), HBS Ursulin di bagian timur (St. Angela sekarang), dan dibagian utara ada Taman Kanak-Kanak yang menyita ssebagian besar Gementee Bandoeng. Di sebelah barat ada Gereja Protestan dan Europosche Laagere School II atau SMEAN sekarang.
Meski dikepung gedung, Pieterspark tetap teduh. Deretan pohon kenari (Canarium) dan 2 pohon karet (Ficus Elastica) selalu meneduhinya. Ada juga pohon Sepatu Dua, Cucurutan, Kihujan, Kidamar, Cemara Laut, Pinang, Aren, Bungur, dan rumput-rumput bambu. Bunga-bunga pun selalu bermekaran. Ada Sedap Malam, Kembang Merak, Pacar Cina, Kemuning, Kisoka, Kacapiring, dan masih banyak lagi. Yang semuanya sangat membetahkan.

Tempat Kongkow

Pieterspark tempo doeloe bukan hanya sebagai taman, tetapi berfungsi pula sebagai social centre. Menggantikan lapang kecil yang terletak di Jl. Braga karena dipakai Javasche Bank. Semula di lapang kecil itu sering ada pertunjukan sirkus, stambul, dan kegiatan lain. Bahkan setiap sabtu sore, para Preangerplanters sering jual tampang, pamer mobil sedan anyar, sambil kongkow-kongkow.
Sejak dibangun Javasche Bank itulah, kebiasaan tadi pindah ke Pieterspark. Mereka berkumpul sambil mendengarkan Muziek Orkes. Para mevrouw, sinyoh, en noniek preangerplanters menemukan tempat mangkal barunya. Semula, orkes yang menghibur mereka bermangkal di Jl. Braga. Tapi, karena mengganggu lalu lintas, orkes brengsek itu pun pindah ke Pieterspark. Tak ayal, setiap malam Minggu taman tersebut tak sunyi lagi.
Selain musik dari Orkes Brengsek, ada juga "Brass Band" dari Corps Muziek Tentara Kolonial Belanda. Para soldadu ini menyanyikan lagu-lagu mars sambil menunggu surup sang matahari. Iramanya yang memukau mengundang penonton tumpah ruah. Mereka duduk-duduk di bangku taman kota sambil menikmati sajian musik. Kalau tidak kebagian kursi, cukuplah bersila di rerumputan.
Bila senja berganti malam, taman diterangi lampion warna-warni. Pasukan pembawa obor menyertai Corps Muziek berpawai keliling kota. Dari Pieterspark iring-iringan ini menuju Alun-alun, Pasar Baru, lalu kembali ke Pieterspark.
Besoknya, Minggu pagi, grup musik ini mengadakan reville, upacara militer pukul 05.00 subuh di depan kantor Panglima Pasukan Tentara Kolonial Belanda di Hindia Belanda (markas Kodam III Siliwangi sekarang). Di tempat inilah Corps Muziek membangunkan tuannya, "Good Morning, get up! Good Morning, get up! get up get up!. Upacara serupa tak beda dengan upacara baris-berbaris Korps Marinir Amerika Serikat di Gedung Putih atau penggantian penjaga Istana di Inggris. Upacara ini masih dilakukan tatkala Kol. Kawilarang menjabat Panglima Siliwangi.
Bagi warga, bukan pergantian atau upacaranya yang menarik. Tapi sajian musik dan reville yang menawan. Mereka bukan saja bisa mendengarkan lagu-lagu berirama semangat di pagi hari tetapi juga menyaksikan defile rapi dari para soldadu.