Sabtu, 27 Maret 2010

DARI SARITEM, GANG ALENG HINGGA SON PUNG

Bandung memang kota kembang. Bukan kembang dalam arti bunga yang harumnya semerbak mewangi, tetapi kembang jalanan yang terdiri dari kaum wanita penjaja cinta sesaat. Sejak tempo "doeloe" hingga kini, Bandung memang terkenal dengan lokasi-lokasi untuk wanita penjaja seks komersial (PSK).
Bagi warga Banung yang hidup antara th '50 - 70an, pasti pernah mendengar bahwa dibeberapa jalan atau gang dijadikan tempat mangkalnya wanita2 penghibur yang akrab disebut WTS (Wanita Tuna Susila).
Di Bandung Timur, seperti di Cicadas, siapa yang tidak kenal gang Son Pung. Sebuah gang yang berhadapan dg Taman Hiburan atau Bioskop Misbar (Girimis Bubar). Di sanalah banyak dijumpai wanita-wanita yang menebar senyum dari balik bibir bergincu tebal.
Mereka bisa dijumpai di warung remang-remang. Jika tidak dimulut gang Son Pung, mereka menyebar di sepanjang Jl. A. Yani Cicadas, terutama di depan Taman Hiburan. Jika malam tiba, banyak suara cekikikan manja dan rehe dari warung remang di pinggir jalan.
Tapi kini gang Son Pung telah bersih dari para WTS. Faktor masalahnya kehendak masyarakat sekitar yang cukup tinggi, dan dengan pendekatan agama. Maka gang Son Pung kini benar-benar bersih dari para WTS.
Lalu Bandung bagian tengah. Saritem adalah pusat "kembang" Bandung. Di kawasan yang diapit Jl. Gardujati / Jl. Kebonjati dan Jl. Jend. Sudirman tersebut ada jalan kecil namanya Saritem. Nah, agak jauh ke dalam inilah ada beberapa rumah perak mirip hotel tempat kencan para WTS dengan pendatang lelaki hidung belang.
Tempat ini dikenal sejak jaman Belanda "baheula". Bahkan Saritem inilah yang tak pernah bisa dijamah petugas untuk dibersihkan. Upaya untuk membebaskan Saritem dari "dunia hitam" telah banyak dilakukan, khususnya oleh pemerintah kota Bandung, jauh sejak zaman Geemente, Kotapraja, Kotamadya dan kini kota. Tetapi Saritem masih tetap eksis. Bahkan karena di Saritem banyak "kembang" Bandung terkenal ke seantero Nusantara. Sebagaimana halnya Surabaya dengan Dolly, Jakarta-Kramat tunggak, Semarang-Sunan Kuning dll.
Masih banyak lagi pusat-pusat kembang lainnya. Gang Aleng didaerah Jl. Astana Anyar, lalu Tegallega yang sejak dulu hingga kini dianggap WTS kelas jalanan yang tak peduli tempat, di tanah lapangpun jadi. Ada lagi Ciroyom. Kawasan yang dekat dengan pasar ini dulunya kawasan ramai. Hingga kawasan ini kerap disebut dengan nama "kebun kacang".
Sama halnya dengan Jl. Kebonsirih, lokasinya dekat dengan gedung Pakuan atau rumah dinas Gubernur Jabar. Hingga th 1975-an, kawasan ini jika malam tiba selalu ramai dengan transaksi para WTS dengan lelaki hidung belang. Disini juga ada tempat "menginap" sementara. Namun karena desakan masyarakat, kini Kebon Sirih benar-benar bersih.

(MS/GM)
(Foto koleksi Museum Tropen, Nederland)

Selasa, 09 Maret 2010

Pieterspark

Pieterspark atau Taman Merdeka atau Taman Balai Kota sekarang, dibangun untuk mengenang jasa-jasa Asisten Residen Priangan bernama Pieter Sijthoff yang telah berhasil membangun Kota Bandung untuk yang pertama. Pieterspark semula dinamai Taman Bunga dan terletak tepat di ujung akhir simpang Jl. Braga yang terkenal itu.
Di bawah Pieterspark dibangun kanal (Jembatan Besi Melengkung). Di bawah kanal itu bergemericik suara air yang dialirkan dari sungai Cikapayang menuju 4 taman kota, yaitu : Ijzerman Park (Taman Ganesha), Pieterspark (Taman Meredeka), Molluken Park (Taman Maluku) dan Insulinde Park (Taman Nusantara/Taman Lalu Lintas sekarang).
Dulu, aliran sungai Cikapayang memang tergolong deras. Konon, di atas aliran sungai ini, anak-anak belasan tahun sering menjadikannya tempat rekreasi. Dari tepi sungai Cikapayang di belakang gedung Rektorat ITB sekarang, anak-anak melayarkan perahu-perahu yang diatasnya ditancapkan lilin menyala. Kalau bukan perahu, mereka menggunakan kulit buah "cucurutan" atau "sepatu dua". Di atas sungai itulah, setiap senja hari anak-anak tergelak-gelak atau mungkin kecewa sejenak, menyaksikan perahu lilinnya terbentur "karang", lalu timbul tenggelam menerobos kegelapan sungai di bawah jembatan.
Pieterspark dibangun Meneer R. Teuscher, seorang botanikus yang saat itu tinggal di rumah pojok di Jl. Tamblong Naripan. Pembangunan taman ini tidak terlepas dari bangunan-bangunan di sekelilingnya. Termasuk jalan raya yang membatasi kota. Dulu, jalan itu tak seramai dan sepolusi seperti sekarang. Saluran air yang mengalir dari Pieterspark dan melalui bagian bawah jalan untuk menuju ke Molluken Park, dulu tebingnya cukup tinggi dan lebar. Airnya masih jernih dan deras. Perubahan terjadi sejak tahun 1950 ketika sepanjang sungai Cikapayang dipasang keramba ikan yang menimbulkan pencemaran dan pendangkalan sungai.
Sedangkan objek bangunan yang "mengepung" Pieterspark antara lain Javasche Bank (kini Bank Indonesia), Kweekschool, sekolah guru atau dikenal sebagai "Sekolah Raja" (kini Kantor Polwiltabes), HBS Ursulin di bagian timur (St. Angela sekarang), dan dibagian utara ada Taman Kanak-Kanak yang menyita ssebagian besar Gementee Bandoeng. Di sebelah barat ada Gereja Protestan dan Europosche Laagere School II atau SMEAN sekarang.
Meski dikepung gedung, Pieterspark tetap teduh. Deretan pohon kenari (Canarium) dan 2 pohon karet (Ficus Elastica) selalu meneduhinya. Ada juga pohon Sepatu Dua, Cucurutan, Kihujan, Kidamar, Cemara Laut, Pinang, Aren, Bungur, dan rumput-rumput bambu. Bunga-bunga pun selalu bermekaran. Ada Sedap Malam, Kembang Merak, Pacar Cina, Kemuning, Kisoka, Kacapiring, dan masih banyak lagi. Yang semuanya sangat membetahkan.

Tempat Kongkow

Pieterspark tempo doeloe bukan hanya sebagai taman, tetapi berfungsi pula sebagai social centre. Menggantikan lapang kecil yang terletak di Jl. Braga karena dipakai Javasche Bank. Semula di lapang kecil itu sering ada pertunjukan sirkus, stambul, dan kegiatan lain. Bahkan setiap sabtu sore, para Preangerplanters sering jual tampang, pamer mobil sedan anyar, sambil kongkow-kongkow.
Sejak dibangun Javasche Bank itulah, kebiasaan tadi pindah ke Pieterspark. Mereka berkumpul sambil mendengarkan Muziek Orkes. Para mevrouw, sinyoh, en noniek preangerplanters menemukan tempat mangkal barunya. Semula, orkes yang menghibur mereka bermangkal di Jl. Braga. Tapi, karena mengganggu lalu lintas, orkes brengsek itu pun pindah ke Pieterspark. Tak ayal, setiap malam Minggu taman tersebut tak sunyi lagi.
Selain musik dari Orkes Brengsek, ada juga "Brass Band" dari Corps Muziek Tentara Kolonial Belanda. Para soldadu ini menyanyikan lagu-lagu mars sambil menunggu surup sang matahari. Iramanya yang memukau mengundang penonton tumpah ruah. Mereka duduk-duduk di bangku taman kota sambil menikmati sajian musik. Kalau tidak kebagian kursi, cukuplah bersila di rerumputan.
Bila senja berganti malam, taman diterangi lampion warna-warni. Pasukan pembawa obor menyertai Corps Muziek berpawai keliling kota. Dari Pieterspark iring-iringan ini menuju Alun-alun, Pasar Baru, lalu kembali ke Pieterspark.
Besoknya, Minggu pagi, grup musik ini mengadakan reville, upacara militer pukul 05.00 subuh di depan kantor Panglima Pasukan Tentara Kolonial Belanda di Hindia Belanda (markas Kodam III Siliwangi sekarang). Di tempat inilah Corps Muziek membangunkan tuannya, "Good Morning, get up! Good Morning, get up! get up get up!. Upacara serupa tak beda dengan upacara baris-berbaris Korps Marinir Amerika Serikat di Gedung Putih atau penggantian penjaga Istana di Inggris. Upacara ini masih dilakukan tatkala Kol. Kawilarang menjabat Panglima Siliwangi.
Bagi warga, bukan pergantian atau upacaranya yang menarik. Tapi sajian musik dan reville yang menawan. Mereka bukan saja bisa mendengarkan lagu-lagu berirama semangat di pagi hari tetapi juga menyaksikan defile rapi dari para soldadu.

Sabtu, 27 Februari 2010

Pelopor Kelahiran Bandung

Dalam buku Bandoeng Tempo Doeloe karya almarhum Haryoto Kunto, disebutkan peranan tiga orang Eropa, cikal bakal manusia yang akan menjadi warga Bandung. Setelah tiga orang tsb, mulailah mengalir bangsa Eropa terutama Belanda yang mulai membuka hutan, diikuti oleh para pribumi.

Pieter Engelhard

Tersebutlah Johan van Hoorn dan Hendrik Zwaardecroon, dua orang Belanda yang pertama mencoba menanam kopi di daerah Batavia dan Priangan, kira-kira th. 1700. Iklim dan bibit yang kurang baik, membuat usaha penanaman komoditi langka di pasaran Eropa itu tidak berhasil baik.
Upaya serupa lalu dilakukan Pieter Engelhard. Ia membuka perkebunan kopi didaerah selatan lereng Gunung Tangkuban Parahu, beberapa puluh pal dari kota Bandung. Lokasi perkebunan itu tepatnya di tanjakan Jl. Setiabudhi sekarang (Ledeng-UPI). Penanaman kopi yang dimulai th. 1789 itu berhasil baik. Hasil yang paling memuaskan baru diperoleh th. 1807, setelah Engelhard mengerahkan ratusan penduduk pribumi. Kopi Tangkuban Parahu itu dikenal di Eropa sebagai Javakoffie dan langsung mendapat pasaran tinggi. Javakoffie juga menggantikan kopi pait-buruk dan tidak enak yang banyak dihidangkan le mauvais Cafe de Batavia (kopi buruk di Batavia) di awal abad ke-18.
Bibit kopi Engelhar kemudia menyebar luas ke perkebunan kopi lainnya di lereng Gunung Patuha, Mandalawangi, Galunggung, dan Gunung Malabar. Sejak itu banyak penduduk pribumi Priangan yang beralih kerja dari sawah ke perkebunan kopi.

Andries de Wilde

Dokter Andries de Wilde adalah seorang tuan tanah pertama di daerah Priangan, Sebetulnya ia seorang ahli bedah (Chirurg) yang berdinas pada pasukan artileri tentara Belanda. Kemudian ia diangkat menjadi pembantu utama Herman Wilem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Ketika Inggris berkuasa di Hindia Belanda, Andries de Wilde sempat mengikat persahabatan dengan Luitenant Gouverneur Thomas Stamford Raffles (Gubernur Inggris untuk Indonesia). De Wilde bahkan diangkat sebagai Assistant to the Resident at Bandong (Residen Bandung) pada 10 Agustus 1812. Tapi jabatan itu tidak lama dipegangnya karena berselisih pendapat dengan Residen Macquoid, yang lalu memecatnya. Tapi Raffles mengangkatnya kembali sebagai pengawas penanaman kopi ("Koffie Opziener) yang berkedudukan di Tarogong - Garut.
Pada masa Daendels, de Wilde telah memiliki tanah yang luas di jasinga-Bogor dan Cimelati-Sukabumi. Ketika menjadi "Koffie Opziener" de Wilde mengajukan permohonan kepada pemerintah Belanda agar diizinkan menukar tanahnya di Bogor dan Sukabumi dengan sebidang tanah di Bandung Utara. Tanah pengganti itu meliuti wilayah yang luas memanjang, dari Cimahi di Barat sampai Cibeusi di timur. Sebelah utara dibatasi Gunung Tangkuban Parahu, sedangkan selatan dibatasi jalan raya pos. Berarti, setengah dari luas Kab. Bandung sekarang, dimiliki Andries de Wilde seorang. Selain bertanam kopi, de Wilde juga beternak sapi, dengan puluhan budak belian sebagai pekerja kebunnya.
Dokter Andries de Wilde menikah dengan mojang Priangan dan mendirikan vila indah di "Kampung Banong". Kira-kira di daerah Dago Atas. Di tanah bekas gudang kopi miliknya didirikan Gedong Papak yang sekarang kita kenal sebagai kantor Pemerintah Kota Bandung (Balai Kota).
Perjalanan hidup de Wilde ternyata tidak mulus. Masa Gubernur Jenderal Van der Capellen kepemilikan tanahnya dibatalkan Pemerintah Hindia Belanda. Dalam keadaan bangkrut ia pulang ke Negeri Belanda untuk mengadu kepada raja Willem.

Franz Wilhelm Junghuhn

Franz Wilhelm Junghuhn adalah seorang penjelajah keturunan Jerman yang dikenal sebagai tokoh yang mengembangkan tanaman kina. Orang pertama yang membawa kina ke P. Jawa adalah Blume, th 1829. Selama jangka th. 1830-1837, usaha penanaman kina (Chincona-latin), telah dilakukan Korthals, Reinwaldt, Fritze, dan Junghuhn, namun gagal.
Gubernur Jenderal Pahud menginstruksikan Junghuhn agar mencari benih kina varietas unggul ke Amerika Selatan, pekerjaan ini dilakukan Dr. Hasskarl Desember 1854. Pengembangan tanaman kina dari bibit yang dibawa Hasskarl mencapai hasil yang memuaskan. F.W. Junghuhn adalah orang yang mengangkat nama Bandung dikenal sebagai penghasil bubuk kina utama di dunia. Pada masa sebelum perang dunia ke-2, lebih dari 90% kebutuhan kina dunia, dicukupi oleh perkebunan dan pabrik kina di wilayah sekitar Bandung.
Dunia ilmiah mencatat Junghuhn sebagai ilmuwan, penyelidik alam, petualang, pengembara, dan pecinta alam sejati. Ia adalah seorang yang selalumenganjurkan agar manusia bergaul dengan alam, mencintainya dan mencari kebahagiaan di dalamnya. Ia menulis tentang itu saat berusia 26 tahun, di atas kapal yang membawanya ke P. Jawa tahun 1835. Lewat hasil penyelidikannya tentang flora dan fauna, geografi, geologi, iklim, dan sosiografi penduduk P. Jawa, terutama daerah Priangan, para pengusaha Belanda dapat menentukan lokasi yang tepat untuk daerah perkebunan dengan jenis tanaman yang sesuai dengan lingkungannya. Hasil penyelidikan Junghuhn dibukukan dalam 4 jilid berjudul Java, Gravenhage 1853.

Selain ketiga orang itu, ada beberapa nama lain yang patut dikenal karena mereka pelopor usaha perkebunan teh. Para theeplanters (pengusaha teh) ini suka disebut "de theenjonkers van Preanger" (para Pangeran Kerajaan teh di Priangan). Keluarga ini banyak menurunkan intelektual yang menguasai kebudayaan Indonesia. Beberapa nama yang cukup dikenal, antara lain : Van der Huchts, de Kerkhovens, de Holles, Van Motmans, de Bosscha's, Families Mundts, Denninghoff Stelling, dan Van Heeckeren van Walien.
Karena mereka hidup di pegunungan teh, mereka lebih akrab bergaul dengan bangsa pribumi, para kuli perkebunan. Karel Frederik Holle, anak sulung keluarga Holle, semula seorang Komis di Kantor Karesidenan Priangan di Cianjur. Ia selalu menggunakan bahasa Sunda. Begitu fasihnya sampai temannya mengatakan "Dia bicara bahasa Sunda seperti orang Sunda". Th. 1857, K.F.Holle ditunjuk sebagai kuasa perkebunan teh di Cikajang - Garut, dan disini mendalami kebudayaan dan sejarah kuno Sunda. Sebuah patung peringatan didirikan orang di Alun-alun Garut, untuk mengabadikan jasa-jasanya. Adik Karel Holle, Herman Hendrik Holle tak kurang seriusnya dalam menelaah kenudayaan Sunda. Sehari-hari ia memakai sarung dan baju kampret dan peci. Ia sering lesehan di pendopo Kab. Sumedang sambil menggesek rebab. Kegilaannya pada gamelan, terkadang mebuatnya lupa beristirahat dan memainkan instrumen mulai pk. 8 pagi sampai pk. 24 malam.
Keluarga Kerkhoven dan Bosscha dikenal warga Bandung sebagai donatur berdirinya Technische Hoogeschool (ITB sekarang) di Bandung. Laboratorium IPA di TH dan Bosscha Sterrenwacht (Peneropongan Bintang) di Lembang, merupakan saksi abadi yang menunjukkan betapa besar sumbangan mereka terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di Bandung.
Sedangkan keluarga Van Heeckeren memberikan andil bagi pengembangan ilmu pengetahuan sejarah di Indonesia. Salah satu putra keluarga Heeckeren, menjadi sarjana sejarah purbakala Indonesia bertaraf Internasional.

(EL/GM/Bandoeng Tempo Doeloe)
(Sumber foto : wikipedia )

Jumat, 26 Februari 2010

Paradise in Exille

Bandung dahulu terbilang daerah terra incognita alias daerah tak bertuan yang bisa jadi sarang pemberontak atau tempat ekstremes-ekstremes yang sewaktu-waktu bisa menyerbu kedudukan Kompeni di Batavia. Kota Bandung, kata Prof. Dr. E.C. Godee Molsbergen dalam "landsarchinaris" (Arsip Negara), pertama kali ditemukan seorang Mardijker bernama Juliaen de Silva dengan nama Negorij Bandoeng atau West Oedjoeng Beroeng. Konon, waktu itu cuma ada 25-30 rumah. Tapi pada abad ke-17, orang pribumi sering menyebutnya Tatar Ukur dengan penguasa terkenal Wangsanata alias Dipati Ukur.
Ketika Mardijker Juliaen de Silva muncul, Wangsanata meningkatkan pengamanannya. " Jangan-jangan si Juliaen ini teh anjing setianya Kompeni," ujarnya
Lihat saja gelagatnya. Sejak de Siva tiba, Kompeni seringkali mengintip Tatar Ukur. Jangan-jangan ada tindakan subversif terhadap Kompeni. Sampai pada th 1712 Abraham van Riebeek cucu dari cape koloni di Afrika Selatan mendarat di Pelabuhan Ratu. Dia kelak menjadi van Riebeek pebisnis kopi di Bandung. Dia juga ngahaja ngajugjug Gunung Papandayan untuk mendapatkan belerang sebagai campuran untuk Gunpowder atau bedil sundut. Sampai kemudian ia meninggal di puncak Gunung Tangkuban Parahu pada 13 November 1713.
Dari catatan Riebeek ini, Kompeni melihat potensi besar dari Negorij Bandoeng. Lalu dikirimlah si Kopral Arie Top (sepangkat Babinsa sekarang). Maka bisa jadi Kopral Arie Top inilah , orang kulit putih pertama yang jadi Bandoenger. Betul saja, setahun kemudian, warga Bandung bertambah 300% dengan masuknya 3 orang buangan kakak beradik bernama Ronde dan Jan Geysbergen. Kenapa disebut buangan ?. Karena Bandung pada abad 18 masih hutan rimba. Tak heran bila ada sebutan alas gung liwang liwung, top badak top maung. Jalmo moro, jalmo mati! Karena yang namanya Situ Hiang atau Danau Bandung, airnya masih menggenangi beberapa tempat di Tatar Bandung yang merupakan danau-danau kecil. Sedangkan lahan-lahan lainnya berpaya-paya. Makanya, konon ketika ada Kopral Kompeni Belanda yang suka menipu dan korupsi, dia dibuang juga ke "neraka" Bandung ini.
Tapi dasar si tukang seleweng ini ternyata pintar dan cerdik, dia malah jadi pengusaha penggergajian kayu. Apalagi saat itu, tatangkalan pating ngaleugeujeur di unggal tempat. Wajarlah bila awal abad ke-18 Bandung ini disebut "Paradise in Exille" atau "Sorga dalam Pembuangan".
Pada abad ini, Negorij Bandoeng sudah punya jalan setapak yang dapat dilewati kuda dan menghubungkan Bandung-Bogor-Batavia. Sehingga pada 1786 Piter Engelhard membuka kebun kopi di lereng selatan Gunung Tangkuban Parahu. Hasilnya sangat memuaskan.
Sedangkan yang ngageugeuh selanjutnya adalah Herman Willem Daendels. Ia menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1811 dan membangun jalan berkilo-kilo meter. Daendels mendapat julukan "Ijzeren Marschalk" (Marsekal baja) yang oleh warga pribumi disebut "Mas Galak".
Daendels terkenal dengan pembangunan jalan raya Pos antara Anter - Panarukan yang memakan 30.000 "koeli priboemi". Bahkan dia pula yang memerintahkan para Bupati agar memindahkan ibukota kabupaten ke tepi Postweg. Dan dia pula yang menancapkan tongkat kayu pertama kali di Jl. Asia Afrika sekarang yang kemudian menjadi kilometer 0 nya Bandung sambil berkata "Zorg, dats als ik terug kom hier een staad is gebiuwd!" yang artinya "Coba usahakan, bila aku datang kembali, tempat ini sudah menjadi kota".
Bandung sebagai kota terbuka baru berlaku th 1856 dibawah Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud dengan pemindahan ibukotanya dari Cianjur ke Bandung (1864).

Kamis, 25 Februari 2010

Aloen-Aloen Bandoeng

Aloen-aloen Bandoeng mulai dibangun setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Daendels membangun jalan raya pos (Postweg) antara Anyer - Banyuwangi, turunlah SK tgl 25 Mei 1810 untuk para Bupati di tatar Jawa, agar memindahkan ibu kota kabupaten ke pinggir jalan raya. Saat itu kantor Kabupaten Bandung berada di Dayeuh Kolot.
Bupati saat itu Rd. Wiranatakusumah II pindah ke sekitar Alun-alun (sekarang), karena memang letaknya strategis di pinggir jalan Postweg (Jl. Asia Afrika sekarang). Beliaulah perintis pembangunan gedung kabupaten, pendopo dan alun-alun Bandung. Beliau meninggal th. 1829 dan dimakamkan di belakang Mesjid Kaum (Mesjid Agung sekarang). Makanya kawasan tsb dikenal dengan nama Jl. Dalem kaum.
Di Alun-alun bandung sebelah barat dibangun mesjid besar dengan arsitek Jawa berupa menara bertingkat dan ujungnya runcing (nyungcung=Sunda). Masjid ini berfungsi juga untuk tempat menikahkan orang2 di depan penghulu. Hingga terkenallah sebutan bagi orang yang akan menikah dengan sebutan "Ka Bale Nyungcung". Masjid Kaum awalnya dibuat dari bahan kayu beratap rumbia dan daun ijuk. Pada th. 1850 dirombak total dengan tembok dan genting.
Di Alun-alun Bandung sewaktu-waktu ada pertunjukan olahraga dan hiburan. Di tengah Alun-alun dibangun panggung tempat adu boksen (tinju). Sesekali juga diadakan pertandingan adu domba dan lomba panahan antar Kabupaten dan Pasar malam. Sepanjang hari hingga malam, banyak orang berdagang. hingga kawasan tersebut menjadi "Pujasera" (Pusat jajan Serba Ada).
Mulai th. 1895 hingga 1920 pembangunan sekitar Alun-alun terus berkembang. Pada th. 1920 dibangun gedung bioskop untuk memutar gambar idoep (Film bioskop), di Alun-alun timur dibangun gedung bioskop "Oriental", "Varia", "Feestterein" dan "Elia". Di pojok tenggara terdapat Bale Bandung, gedung tempat para patih dan jaksa mengadakan rapat. Di depan Bale Bandung ada panggung kayu dan tiang gantungan, untuk menghukum mati para penjahat.
Umumnya Alun-alun ditanami pohon beringin. Di Alun-alun saat itu berdiri dua pohon beringin yang tumbuh di tengah-tengah lapangan. Yang satu diberi nama "Wilhelmina Boom" dan satunya lagi "Juliana Boom"", mengambil nama Ratu dan Putri mahkota kerajaan Belanda saat itu.

Digantoeng di Aloen-aloen

Kisah para tahanan dulu memang mengenaskan. Dahulu di depan Bale Bandung dibuat sebuah tiang mirip gawang sepak bola. Di "mistar gawang" tergantung beberapa tambang yang banyaknya disesuaikan dengan jumlah terdakwa yang akan dieksekusi hari itu. Di saat tanam paksa atau "Cultuur Stelsel" yang dikomando Gubernur Jenderal Daendels seorang "Marschallk" atau dalam telinga orang pribumi terdengar sebagai "Mas Galak" banyak orang pribumi yang membelot dan melawan. Mereka itulah yang akan diadili dan dieksekusi di tiang gantungan Alun-alun Bandung atau di lapangan Tegallega.
Adalah Alimu, seorang juru tulis "Koffie Pakhuis" melihat bahwa pada saat itu kompeni amat serakah dalam membeli kopi dari rakyat dengan harga murah. Alimu lalu membelot, ia bersekutu dengan mandor agar setiap kopi yang dipanen rakyat tidak dijual kepada kompeni melainkan kepada orang Inggris di Cirebon, karena tawarannya lebih tinggi.
Ketika Alimu dan mandor sedang membawa kopi dengan menggunakan pedati yang ditarik kerbau menuju Cirebon, penguasa keamanan bernama Schout yang oleh orang Bandung dipanggil "Tuan Sakaut" berang. Beberapa aparat segera mengejar memakai kuda.
Alimu dan mandor ditangkap lalu diadili singkat di Bale Bandung. Tanpa bisa membela diri, tanpa didampingi pengacara. Hakim dan jaksa sepakat untuk menghukum mati Alimu dan sang mandor dengan hukuman gantung di tiang gantungan.
Cerita para tahanan yang dieksekusi di tiang gantungan bukan hanya itu saja. Khhususnya di masa tanam paksa. Banyak rakyat yang dianggap "makar" karena menentang penjajah Belanda ditangkapi. Termasuk garong, perampok, dan para preman yang selalu meresahkan masyarakat. Sidangnya, ya itu tadi, dilakukan singkat di Bale Bandung, saat itu juga para terdakwa divonis mati di tiang gantungan.

(GM/Dari berbagai sumber)
(Foto koleksi Museum Tropen Nederland)


Wilayah Kerajaan Malabar

Banyak cerita tentang Bandung baheula. Dari legenda Sangkuriang, hingga cerita tentang banyaknya kerajaan yang tersebar di wilayah Bandung Raya. Terbukti banyak peninggalan dan isitus kerajaan ditemukan, di antaranya Kerajaan Malabar di Bandung Selatan yang konon menguasai wilayah Bandung sekarang.
Meskipun Richard dan Sheila Bennet (1980) mengatakan bahwa sejarah masa lalu Bandung Raya bagaikan "keping ganjil dari mainan puzzle sejarah yg tak utuh lagi". Itu tidak berarti Bandung "sepi" dari temuan sejarah.
Di abad XIX, Van Kinsbergen, Junghuhn, , Brumund, Hoepermans, P. van Oort dan S. Muller, mencatat dan mengumpulkan benda2 bersejarah dari wilayah Bandung. Sebagian dari temuannya kini disimpan di Museum Nasional di Jakarta.
Pada awal th 1950-an tiga orang budayawan Sunda, yakni Pak Sursa (Alm), M.A. Salmun dan arsitek Suhamir, telah melacak sejarah purba sekitar kota Bandung. Bekerja sama dgn sarjana Swiss, W. Rothpletz, mereka mengadakan penelitian pada historical site (situs) di perbukitan Ciumbuleuit. Selain sisa2 parit pertahanan, pada situs tsb ditemukan pula keramik porselen Cina, peralatan upacara dari perunggu dan perhiasan manik-manik. Konon menurut Pak Sursa, temuan benda tsb adalah peninggalan dari kerajaan "Campaka Warna". Sayang, sepeninggal mereka hasil penyelidikan tidak diketahui jatuh ke tangan siapa. Sampai sejauh mana penelitian mereka, tak ada catatan yang dapat mengungkapkannya.
Masih seputar Bandung Raya. Di tepian sungai Citarum, kira-kira 2 km ke arah utara kantor kecamatan Ciranjang (Kab. Cianjur), didapati bekas kuta (tembok/benteng) dari sebuah kerajaan kecil. Menurut cerita rakyat setempat, tembok benteng itu merupakan peninggalan kerajaan "Tanjung Singuru", dengan rajanya Prabu Susuru. Sebelum menjadi raja, ia bernama Raden Munding Mintra Kasiringan Wangi. Konon ia adalah salah seorang putra Prabu Siliwangi.
Sumber lain mengungkapkan bahwa raja Tanjung Singuru adalah Prabu Jaka Susuruh atau Prabu Hariang Banga yang namanya sering disebut dalam kisah"Pantun Sunda".Raja ini terdesak oleh adiknya sendiri yakni Ciung Wanara sehingga ia mundur dan bertahan di Cihea.
Cihea yang semula termasuk wilayah Kab. Bandung, sejak tahun 1902 masuk wilayah Cianjur. Tahun 1912 sebutan nama Cihea diganti menjadi Ciranjang.
Data sejarah baru yang dianggap bisa mempertautkan tali sejarah Bandung Raya nan fragmentaris dan terpotong-potong, kini mulai terungkap. Penemuan naskah-naskah Cirebon beberapa tahun berselang, yang cukup menakjubkan para sejarawan, paling tidak dapat membantu menyibak sejarah Jawa Barat yang sementara ini masih dianggap remang-remang.
Naskah2 Cirebon itu merupakan hasil pertemuan para ahli sejarah dan hampir 90 daerah di Nusantara yang berlangsung tahun 1677 M di Keraton Kasepuhan Cirebon. Dalam "seminar sejarah" yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta itu berhasil dikumpulkan beberapa ratus judul karya sejarah, meliputi kerajaan2 di Nusantara. Ada 47 jilid yang merupakan gabungan dari sejarah berbagai daerah.
Dari jumlah tersebut yang telah berhasil dikumpulkan oleh Museum Negeri Jawa Barat belum mencapai setengahnya.
Dalam kaitannya dengan sejarah Bandung Raya, Pustaka Rajyaratya i Bhumi Nusantara mengungkapkan, pada saat Sang Purnawarman wafat dalam tahun 434 masehi, tercatat ada 46 kerajaan yang menjadi bawahannya. Satu diantaranya adalah Kerajaan Malabar yang lokasinya terletak di sekitar Gunung Malabar, selatan Kota Bandung.

Kerajaan Malabar ini erat hubungannya dengan kerajaan Indrapahasta di lereng gunung Ciremai (Cirebon). Kerajaan Indrapahasta didirikan oleh Maharesi Santanu, seorang pendeta Siwa berasal dari Lembah Gangga di Imdia.
Setelah Santanu meninggal, putra sulungnya yang bernama Prabu Jayasatyanagara menggantikannya sebagai Raja dan memerintah negara selama 23 tahun (398-421). Ia menikah dengan Dewi Ratnamanik, putri Raja Malabar yang bernama Prabu Wisnubhumi. Jadi kerajaan Malabar besanan dengan kerajaan Indrapahasta.
Lereng gunung Malabar masih menyimpan misteri sejarah masa lalu dataran tinggi Bandung. Di sekeliling gunung itu banyak terdapat situs yang belum sempat diteliti oleh para ahli. Seperti "parit pertahanan" yang terdapat di Perkebunan Kina Argasari yang terletak di lereng malabar, belun dilacak oleh para sejarawan.

(HK/GM)
(Foto koleksi Museum Tropen Nederland)



Rabu, 24 Februari 2010

EX UNDIS SOL ??

Menurut sejarah, Tatar Bandung terbentuk karena menyusutnya danau Bandung sekitar 3000 tahun yang lalu. Danau ini terbentuk dari sebuah muntahan erupsi besar Gunung Tangkuban Parahu yang merupakan anak dari Gunung Sunda. Akibat danau itu surut, munculah dataran tinggi Bandung. Ketika sungai Citarum tersumbat muntahan Gunung Tangkuban Parahu, airnya mengalir mencari jalan keluar menembus bukit-bukit Rajamandala dan melewati terowongan alam Sanghiang Tikoro. Makanya, Bandung menjadi dataran subur di ketinggian 725 mdpl. Padahal, waktu danau Bandung masing ngemplang, dananunya membentang dari Cicalengka di timur sampai Padalarang di barat. Dari bukit Dago di utara samapai batas soreang - Ciwidey di selatan. Bisa dibayangkan, di Alun-alun Bandung saat itu kedalaman air mencapai 30 meter.
Sejak dayeuh Bandung ditetapkan menjadi Gementee oleh Jenderal J.V. Van Heutz melalui ordonasi 21 Februari 1906. Legenda Sanghiang Tikoro dan Sangkuriang menjadi tema khas dari Lambang Gementee Bandung. Bahkan sejak itu pula tak pernah ada sebuah lambang apapun tanpa persetujuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Seperti yang ditetapkan dalam aturan pasal 1 ayat 1 ordonasi 7 September 1928. Termasuk sehelai pita yang menghiasi perisai Bandung kala itu dan bertuliskan motto dengan bahasa latin Ex Undis Sol. Motto ini merupakan terjemahan dari bahasa Belanda Uit de Golven de Zon yang berarti "Matahari Muncul di atas Gelombang". Lho, apa hubungannya
Matahari Muncul di atas Gelombang"dengan kisah pasang surut Danau Bandung ? kata Meneer J.E. Jasper dalam sebuah artikel di koran Java Bode 1906-1931.
Persoalan mendasar dari kesalahan itu sebenarnya bukan dari tidak adanya hubungan nama dengan sejarah. Seperti juga motto "Bandung Berhiber", "Bandung Atlas" atau Bandung Heurin ku Tangtung, dll. Tersirat muatan histori dan potensi sosio-ekonomi pada motto tersebut. Tetapi, kata sahibul sejarah, kesalahan nama yang kemudian menjadi motto Bandoeng Tempo Doeloe itu karena Walikota pada masa itu "koppig" alias bedegong, isin mundur karena gengsi. Karena ia tetap ingin mempertahankan semboyan "Ex Undis Sol". Padahal, meskipun dari segi hubung-hubungan tadi boleh-boleh saja, tapi justru namanya yang ternyata salah.
Motto Gementee Bandoeng itu sebenarnya sangat tidak ingin terlepas dari sejarah danau Bandung. Ya, semacam motto yang mungkin begini, "Lahan Kokoh Muncul dari Gelombang". Lahan kokoh atau lahan padat yang dalam bahasa latin disebut "Solum" atau dalam bahasa Inggris "Solid Soil". Sedangkan kata latin dari muncul adalah "Ex" dan gelombang dalam bahasa latin adalah "Undis". Jadi motto yang benar adalah "Ex Undis Solum" bukan "Ex Undis Sol" seperti yang tercantum dalam lambang Gementee Bandoeng tempo dulu. Sebab, kata latin "Sol" berarti "Matahari" seperti Solar atau Soleil dalam bahasa Prancis.
Bayangkan, sampai tahun 1952, kota Bandung yang luhung ini ternyata memiliki dan menggunakan semboyan yang salah! O ....alaah !

(END/GM/dari berbagai sumber)