Senin, 27 Februari 2023

Si Gombar, bikin Bandung Jadi mekar

Si Gombar melintas di jalur rel diantara para pekerja yang sedang melaksanakan pembangunan jembatan KA di daerah Jamop. Foto Koleksi Tropen Museum - Nederland

Lagi ga ada kerjaan, liat liat google tiba tiba melintas foto kereta api di jamannya si Gombar. Jadi inget sekitar tahun 1982-1984an. Waktu itu saya masih SD kelas 2-4, sering sengaja main ke Cintaasih (dekat Stasiun Cikudapateuh) cuma buat lihat si Gombar lewat. Seneng banget waktu itu bisa lihat si Gombar melintas, kadang saya sama temen temen sengaja nyimpen paku di rel kereta buat bikin pedang pedangan.

Eh, kalian tau kan apa itu si Gombar ?. Si Gombar adalah lokomotif jalur pegunungan yang pada zaman itu menguasai jalur jalur rel di wilayah Priangan dan sekitarnya. Sekitar tahun 1930an, masa awal kedatangannya ke Bandung, si Gombar ini bikin tercengang seluruh penduduk wilayah udik pegunungan Priangan. Bayangkan saja, Lokomotif dengan seri “D.D” ini mempunyai 8 buah roda besar yang berpasangan 4-4 di bagian depannya. Bila si Gombar atau sebutan kerennya “Berglijn Locomotive” ini berlari, maka tanjakan bagaimanapun beratnya di wilayah Priangan bakalan dilahapnya. Walaupun beban berat yang banyak dari hasil perkebunan diangkutnya, tetep nge gaaass. Ga heran kalau kemudian si Gombar ini dapet julukan sebagai “Berg Koningin” alias “Raja Pegunungan”.

Dulu, karena saya tinggal di jl. Sukabumi, maka bila ingin melihat si Gombar cukup main ke Cintaasih atau ke Jambatan Opat. Tapi, pada masa 1930an sampai awal kemerdekaan, orang orang dari sekitaran Bandung ramai berkumpul di jembatan viaduct, buat nonton si Gombar beraksi.  Sambil bekel timbel dan botram disana. Karena di jembatan yang dibangun oleh Biro Teknik “De Unie” (1923) itu bukan saja menjadi tempat langsir tetapi juga jadi tempat menonton lokomotif. Apalagi waktu itu Cuma ada satu lintasan lewat selatan yang menghubungkan jalur Batavia – Surabaya, maka dengan system Stop Over atau alih kereta bagi penumpang, Viaduct menjadi tempat teramai dan menyenangkan.

Perlu diketahui, Ketika hubungan kereta api pertama kali dibuka tahun 1884, jumlah penumpang yang naik turun tercatat 32.000 orang/tahun, dengan angkutan bagasi 9.250 ton. Dan 30 th kemudian (1914) banyaknya penumpang tercatat 1.307.000 orang/tahun dengan muatan bagasi 244.700 ton (“Almanak Voor Bandoeng” 1941). Itu membuktikan betapa besarnya peranan kereta api. Terlebih Ketika beberapa jalur persimpangan buat si Gombar dibangun untuk menghubungkan kota kota kecil yang terletak di Hinterland dan sekitarnya.

Manfaat besar dari kehadiran si Gombar adalah produksi perkebunan wilayah Priangan menjadi barang komoditas ekspor yang laku keras di pasaran dunia. Tak ayal bila West Java menjadi daerah pilihan lokasi perkebunan tanaman ekspor seperti teh, kina, kopi dan karet. ( Dulu waktu saya kecil, di jl. Jakarta terdapat pabrik karet yang Namanya “Pikan Rubber Industry”, jadi kalo saya maen ke jl. Jakarta itu nyebutnya maen ka Pikan ). Maka dari situlah pula, Bandung memiliki pendapatan potensial bagi pembangunan jalur jalur kereta yang lebih andal. Dan perlu dicatat, Kota Bandung memiliki Burgermaster alias walikota yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen Priangan. Di bawah kepemimpinan Meneer B. Coops sebagai walikota (1917-1928) Bandung pun dapat melakukan pembangunan kota tahap kedua.

Untuk masyarakat udik pasisian Bandung, kehadiran si Gombar memang luar biasa. Sampai tahun 1930an, masih bisa disaksikan “orang gunung” turun ke Bandung berbekal nasi timbel, leupeut atau gorengan, hanya untuk menonton “Hulu Kareta” !

Dan bukan itu saja, selain hiburan bagi rakyat kecil. Kehadiran si Gombar di Bandung yang menjadi tempat alih kereta (Stop Over) juga menjadi pembawa anugerah besar pula bagi pemilik hotel, losmen dan penginapan-penginapan murah, termasuk di daerah “lampu Merah” (daerah prostitusi). Semua sarana itu berjejer seputar jl. Gardujati, Kebonjati, Kebon Jeruk, Suniaraja, Pasar baru dan sekitarnya. Tapi, pada masa itu, hotel yang terbilang cukup besar dan mewah hanya ada 2, yaitu Hotel Andreas dan Grand National Hotel (sekarang jadi Kantor Pusat PT KAI).

Si Gombar juga punya andil besar untuk mempopulerkan makanan khas Bandung pada waktu itu. Kuliner macam soto, besengek, endog asin, goreng belut, semur jengkol, semuanya merupakan makanan favorit bagi para pendatang ke Bandung. Bagi pemilik restoran, rumah makan, warung nasi, dll kehadiran si Gombar merupakan sebuah anugerah. Kuliner kuliner yang disajikan bisa dilahap habis dan menjadi makanan yang di rindukan para pendatang. Bahkan, jalanan yang dulu hanya berirama plak-plok-plak-plok dan ting-neng-ting-neng, kini ditambah suara anyar tut tuutt tuuuuuttttt.

Dari Peta kota sendiri, Si Gombar sudah menjadi media Ajaib yang  dapat memekarkan potensi Bandung. Jika sebelumnya Bandung terbagi menjadi West Bandoeng dan Oost Bandoeng yang dipisahkan oleh sungai Cikapundung dan dan pembangunannya tidak seimbang. Dimana waktu itu pusat perekonomian hanya tertumpu di wilayah pecinan, alun alun atau pasar baru, maka sejak hadirnya si Gombar, dibangunlah Pasar Kosmbi, Pasar Cicadas dan Pasar Kiaracondong di wilayah Oost Bandoeng. Dan Pasar Andir, Ciroyom dengan halte Andir dan Ciroyom di West Bandoeng.

Bahkan, waktu itu, buat para penumpang yang ingin melancong ke Insulinde Park (sekarang Taman lalu Lintas) yang saat itu merupakan “Pusat Kegiatan Masyarakat Eropa” (Europeesche Zakenwijk) dibangun juga halte Jalan Jawa (kini udah ga ada). Untuk penduduk Parapatan Lima dibangun Halte Karees (udah ga ada juga).

Untuk alokasi pergudangan, Si Gombar menyimpan potensinya di Cibangkong, Cikudapateuh dan Jl. Gatot Subroto. Di Jl. Sukabumi  Dalam  juga sekarang masih ada bekas bekas Rel yang kata sesepuh disini merupakan jalur Lori pengangkut hasil kebun.

Untuk trayek Trem, tahun 1921 pernah dibuka jalur Trem Bandung – Kopo – Ciwidey. Tapi kini sudah tak ada lagi, dan menurut hembusan berita hawar hawar katanya mau di aktifkan lagi, entahlah. Tahun 1918 juga pernah ada perencanaan pembangunan jalur KA Bandung – Rancaekek – Jatinangor – Tanjungsari – Citali. Tapi ini belum sempat terealisasi.

Akhirnya, dari semua perjalanan Panjang Si Gombar, kuda besi ini sudah sangat banyak memberi arti tersendiri bagi kemajuan pembangunan di kota Bandung. Mampu menyulap Bandoeng dari Sebuah desa yang sunyi menjadi kota yang penuh hiruk pikuk.