Jumat, 26 Februari 2010

Paradise in Exille

Bandung dahulu terbilang daerah terra incognita alias daerah tak bertuan yang bisa jadi sarang pemberontak atau tempat ekstremes-ekstremes yang sewaktu-waktu bisa menyerbu kedudukan Kompeni di Batavia. Kota Bandung, kata Prof. Dr. E.C. Godee Molsbergen dalam "landsarchinaris" (Arsip Negara), pertama kali ditemukan seorang Mardijker bernama Juliaen de Silva dengan nama Negorij Bandoeng atau West Oedjoeng Beroeng. Konon, waktu itu cuma ada 25-30 rumah. Tapi pada abad ke-17, orang pribumi sering menyebutnya Tatar Ukur dengan penguasa terkenal Wangsanata alias Dipati Ukur.
Ketika Mardijker Juliaen de Silva muncul, Wangsanata meningkatkan pengamanannya. " Jangan-jangan si Juliaen ini teh anjing setianya Kompeni," ujarnya
Lihat saja gelagatnya. Sejak de Siva tiba, Kompeni seringkali mengintip Tatar Ukur. Jangan-jangan ada tindakan subversif terhadap Kompeni. Sampai pada th 1712 Abraham van Riebeek cucu dari cape koloni di Afrika Selatan mendarat di Pelabuhan Ratu. Dia kelak menjadi van Riebeek pebisnis kopi di Bandung. Dia juga ngahaja ngajugjug Gunung Papandayan untuk mendapatkan belerang sebagai campuran untuk Gunpowder atau bedil sundut. Sampai kemudian ia meninggal di puncak Gunung Tangkuban Parahu pada 13 November 1713.
Dari catatan Riebeek ini, Kompeni melihat potensi besar dari Negorij Bandoeng. Lalu dikirimlah si Kopral Arie Top (sepangkat Babinsa sekarang). Maka bisa jadi Kopral Arie Top inilah , orang kulit putih pertama yang jadi Bandoenger. Betul saja, setahun kemudian, warga Bandung bertambah 300% dengan masuknya 3 orang buangan kakak beradik bernama Ronde dan Jan Geysbergen. Kenapa disebut buangan ?. Karena Bandung pada abad 18 masih hutan rimba. Tak heran bila ada sebutan alas gung liwang liwung, top badak top maung. Jalmo moro, jalmo mati! Karena yang namanya Situ Hiang atau Danau Bandung, airnya masih menggenangi beberapa tempat di Tatar Bandung yang merupakan danau-danau kecil. Sedangkan lahan-lahan lainnya berpaya-paya. Makanya, konon ketika ada Kopral Kompeni Belanda yang suka menipu dan korupsi, dia dibuang juga ke "neraka" Bandung ini.
Tapi dasar si tukang seleweng ini ternyata pintar dan cerdik, dia malah jadi pengusaha penggergajian kayu. Apalagi saat itu, tatangkalan pating ngaleugeujeur di unggal tempat. Wajarlah bila awal abad ke-18 Bandung ini disebut "Paradise in Exille" atau "Sorga dalam Pembuangan".
Pada abad ini, Negorij Bandoeng sudah punya jalan setapak yang dapat dilewati kuda dan menghubungkan Bandung-Bogor-Batavia. Sehingga pada 1786 Piter Engelhard membuka kebun kopi di lereng selatan Gunung Tangkuban Parahu. Hasilnya sangat memuaskan.
Sedangkan yang ngageugeuh selanjutnya adalah Herman Willem Daendels. Ia menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1811 dan membangun jalan berkilo-kilo meter. Daendels mendapat julukan "Ijzeren Marschalk" (Marsekal baja) yang oleh warga pribumi disebut "Mas Galak".
Daendels terkenal dengan pembangunan jalan raya Pos antara Anter - Panarukan yang memakan 30.000 "koeli priboemi". Bahkan dia pula yang memerintahkan para Bupati agar memindahkan ibukota kabupaten ke tepi Postweg. Dan dia pula yang menancapkan tongkat kayu pertama kali di Jl. Asia Afrika sekarang yang kemudian menjadi kilometer 0 nya Bandung sambil berkata "Zorg, dats als ik terug kom hier een staad is gebiuwd!" yang artinya "Coba usahakan, bila aku datang kembali, tempat ini sudah menjadi kota".
Bandung sebagai kota terbuka baru berlaku th 1856 dibawah Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud dengan pemindahan ibukotanya dari Cianjur ke Bandung (1864).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar