Si Gombar melintas di jalur rel diantara para pekerja yang sedang melaksanakan pembangunan jembatan KA di daerah Jamop. Foto Koleksi Tropen Museum - Nederland |
Lagi ga ada kerjaan, liat liat google tiba tiba melintas
foto kereta api di jamannya si Gombar. Jadi inget sekitar tahun 1982-1984an.
Waktu itu saya masih SD kelas 2-4, sering sengaja main ke Cintaasih (dekat
Stasiun Cikudapateuh) cuma buat lihat si Gombar lewat. Seneng banget waktu itu
bisa lihat si Gombar melintas, kadang saya sama temen temen sengaja nyimpen
paku di rel kereta buat bikin pedang pedangan.
Eh, kalian tau kan apa itu si Gombar ?. Si Gombar adalah
lokomotif jalur pegunungan yang pada zaman itu menguasai jalur jalur rel di
wilayah Priangan dan sekitarnya. Sekitar tahun 1930an, masa awal kedatangannya
ke Bandung, si Gombar ini bikin tercengang seluruh penduduk wilayah udik
pegunungan Priangan. Bayangkan saja, Lokomotif dengan seri “D.D” ini mempunyai
8 buah roda besar yang berpasangan 4-4 di bagian depannya. Bila si Gombar atau
sebutan kerennya “Berglijn Locomotive” ini berlari, maka tanjakan bagaimanapun
beratnya di wilayah Priangan bakalan dilahapnya. Walaupun beban berat yang
banyak dari hasil perkebunan diangkutnya, tetep nge gaaass. Ga heran kalau
kemudian si Gombar ini dapet julukan sebagai “Berg Koningin” alias “Raja
Pegunungan”.
Dulu, karena saya tinggal di jl. Sukabumi, maka bila ingin
melihat si Gombar cukup main ke Cintaasih atau ke Jambatan Opat. Tapi, pada
masa 1930an sampai awal kemerdekaan, orang orang dari sekitaran Bandung ramai berkumpul
di jembatan viaduct, buat nonton si Gombar beraksi. Sambil bekel timbel dan botram disana. Karena
di jembatan yang dibangun oleh Biro Teknik “De Unie” (1923) itu bukan saja
menjadi tempat langsir tetapi juga jadi tempat menonton lokomotif. Apalagi
waktu itu Cuma ada satu lintasan lewat selatan yang menghubungkan jalur Batavia
– Surabaya, maka dengan system Stop Over atau alih kereta bagi penumpang,
Viaduct menjadi tempat teramai dan menyenangkan.
Perlu diketahui, Ketika hubungan kereta api pertama kali dibuka
tahun 1884, jumlah penumpang yang naik turun tercatat 32.000 orang/tahun,
dengan angkutan bagasi 9.250 ton. Dan 30 th kemudian (1914) banyaknya penumpang
tercatat 1.307.000 orang/tahun dengan muatan bagasi 244.700 ton (“Almanak Voor
Bandoeng” 1941). Itu membuktikan betapa besarnya peranan kereta api. Terlebih Ketika
beberapa jalur persimpangan buat si Gombar dibangun untuk menghubungkan kota
kota kecil yang terletak di Hinterland dan sekitarnya.
Manfaat besar dari kehadiran si Gombar adalah produksi
perkebunan wilayah Priangan menjadi barang komoditas ekspor yang laku keras di
pasaran dunia. Tak ayal bila West Java menjadi daerah pilihan lokasi perkebunan
tanaman ekspor seperti teh, kina, kopi dan karet. ( Dulu waktu saya kecil, di
jl. Jakarta terdapat pabrik karet yang Namanya “Pikan Rubber Industry”, jadi
kalo saya maen ke jl. Jakarta itu nyebutnya maen ka Pikan ). Maka dari situlah
pula, Bandung memiliki pendapatan potensial bagi pembangunan jalur jalur kereta
yang lebih andal. Dan perlu dicatat, Kota Bandung memiliki Burgermaster alias
walikota yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen Priangan. Di bawah
kepemimpinan Meneer B. Coops sebagai walikota (1917-1928) Bandung pun dapat
melakukan pembangunan kota tahap kedua.
Untuk masyarakat udik pasisian Bandung, kehadiran si Gombar
memang luar biasa. Sampai tahun 1930an, masih bisa disaksikan “orang gunung”
turun ke Bandung berbekal nasi timbel, leupeut atau gorengan, hanya untuk
menonton “Hulu Kareta” !
Dan bukan itu saja, selain hiburan bagi rakyat kecil. Kehadiran
si Gombar di Bandung yang menjadi tempat alih kereta (Stop Over) juga menjadi
pembawa anugerah besar pula bagi pemilik hotel, losmen dan
penginapan-penginapan murah, termasuk di daerah “lampu Merah” (daerah
prostitusi). Semua sarana itu berjejer seputar jl. Gardujati, Kebonjati, Kebon
Jeruk, Suniaraja, Pasar baru dan sekitarnya. Tapi, pada masa itu, hotel yang
terbilang cukup besar dan mewah hanya ada 2, yaitu Hotel Andreas dan Grand
National Hotel (sekarang jadi Kantor Pusat PT KAI).
Si Gombar juga punya andil besar untuk mempopulerkan makanan
khas Bandung pada waktu itu. Kuliner macam soto, besengek, endog asin, goreng
belut, semur jengkol, semuanya merupakan makanan favorit bagi para pendatang ke
Bandung. Bagi pemilik restoran, rumah makan, warung nasi, dll kehadiran si
Gombar merupakan sebuah anugerah. Kuliner kuliner yang disajikan bisa dilahap
habis dan menjadi makanan yang di rindukan para pendatang. Bahkan, jalanan yang
dulu hanya berirama plak-plok-plak-plok dan ting-neng-ting-neng, kini ditambah
suara anyar tut tuutt tuuuuuttttt.
Dari Peta kota sendiri, Si Gombar sudah menjadi media Ajaib yang dapat memekarkan potensi Bandung. Jika
sebelumnya Bandung terbagi menjadi West Bandoeng dan Oost Bandoeng yang
dipisahkan oleh sungai Cikapundung dan dan pembangunannya tidak seimbang.
Dimana waktu itu pusat perekonomian hanya tertumpu di wilayah pecinan, alun
alun atau pasar baru, maka sejak hadirnya si Gombar, dibangunlah Pasar Kosmbi,
Pasar Cicadas dan Pasar Kiaracondong di wilayah Oost Bandoeng. Dan Pasar Andir,
Ciroyom dengan halte Andir dan Ciroyom di West Bandoeng.
Bahkan, waktu itu, buat para penumpang yang ingin melancong
ke Insulinde Park (sekarang Taman lalu Lintas) yang saat itu merupakan “Pusat
Kegiatan Masyarakat Eropa” (Europeesche Zakenwijk) dibangun juga halte Jalan
Jawa (kini udah ga ada). Untuk penduduk Parapatan Lima dibangun Halte Karees
(udah ga ada juga).
Untuk alokasi pergudangan, Si Gombar menyimpan potensinya di
Cibangkong, Cikudapateuh dan Jl. Gatot Subroto. Di Jl. Sukabumi Dalam juga sekarang masih ada bekas bekas Rel yang
kata sesepuh disini merupakan jalur Lori pengangkut hasil kebun.
Untuk trayek Trem, tahun 1921 pernah dibuka jalur Trem
Bandung – Kopo – Ciwidey. Tapi kini sudah tak ada lagi, dan menurut hembusan
berita hawar hawar katanya mau di aktifkan lagi, entahlah. Tahun 1918 juga
pernah ada perencanaan pembangunan jalur KA Bandung – Rancaekek – Jatinangor –
Tanjungsari – Citali. Tapi ini belum sempat terealisasi.
Akhirnya, dari semua perjalanan Panjang Si Gombar, kuda besi
ini sudah sangat banyak memberi arti tersendiri bagi kemajuan pembangunan di
kota Bandung. Mampu menyulap Bandoeng dari Sebuah desa yang sunyi menjadi kota
yang penuh hiruk pikuk.